Sriwijaya dan Islam
Dari :http://swaramuslim.net/galery/islam-...slam_indonesia
Ada beberapa teori yang hingga kini masih sering dibahas, baik oleh sarjana-sarjana Barat maupun kalangan intelektual Islam sendiri. Setidaknya ada tiga teori yang menjelaskan kedatangan Islam ke Timur Jauh termasuk ke Nusantara. Teori pertama diusung oleh Snouck Hurgronje yang mengatakan Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar disebut sebagai asal masuknya Islam di Nusantara.
Dalam L’arabie et les Indes Neerlandaises, Snouck mengatakan teori tersebut didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal, yakni pada abad ke-12 atau 13. Snouck juga mengatakan, teorinya didukung dengan hubungan yang sudah terjalin lama antara wilayah Nusantara dengan daratan India.
Sebetulnya, teori ini dimunculkan pertama kali oleh Pijnappel, seorang sarjana dari Universitas Leiden. Namun, nama Snouck Hurgronje yang paling besar memasarkan teori Gujarat ini. Salah satu alasannya adalah, karena Snouck dipandang sebagai sosok yang mendalami Islam. Teori ini diikuti dan dikembangkan oleh banyak sarjana Barat lainnya.
Teori kedua, adalah Teori Persia. Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di Nusantara. Teori ini berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia. Misalnya saja tentang peringatan 10 Muharam yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah. Selain itu, di beberapa tempat di Sumatera Barat ada pula tradisi Tabut, yang berarti keranda, juga untuk memperingati Hasan dan Husein. Ada pula pendukung lain dari teori ini yakni beberapa serapan bahasa yang diyakini datang dari Iran. Misalnya jabar dari zabar, jer dari ze-er dan beberapa yang lainnya.
Teori ini menyakini Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13. Dan wilayah pertama yang dijamah adalah Samudera Pasai.
Kedua teori di atas mendatang kritikan yang cukup signifikan dari teori ketiga, yakni Teori Arabia. Dalam teori ini disebutkan, bahwa Islam yang masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah. Waktu kedatangannya pun bukan pada abad ke-12 atau 13, melainkan pada awal abad ke-7. Artinya, menurut teori ini, Islam masuk ke Indonesia pada awal abad hijriah, bahkan pada masa khulafaur rasyidin memerintah. Islam sudah mulai ekspidesinya ke Nusantara ketika sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memegang kendali sebagai amirul mukminin.
Bahkan sumber-sumber literatur Cina menyebutkan, menjelang seperempat abad ke-7, sudah berdiri perkampungan Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Di perkampungan-perkampungan ini diberitakan, orang-orang Arab bermukim dan menikah dengan penduduk lokal dan membentuk komunitas-komunitas Muslim.
Dalam kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu T’hang Shu disebutkan pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-o-rang Ta Shih, sebutan untuk orang Arab, pada tahun tahun 651 Masehi atau 31 Hijirah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’ adalah sebutan untuk Amirul Mukminin.
Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo ni’ menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali berganti kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan.
Biasanya, para pengembara Arab ini tak hanya berlayar sampai di Cina saja, tapi juga terus menjelajah sampai di Timur Jauh, termasuk Indonesia. Jauh sebelum penjelajah dari Eropa punya kemampuan mengarungi dunia, terlebih dulu pelayar-pelayar dari Arab dan Timur Tengah sudah mampu melayari rute dunia dengan intensitas yang cukup padat. Ini adalah rute pelayaran paling panjang yang pernah ada sebelum abad 16.
Hal ini juga bisa dilacak dari catatan para peziarah Budha Cina yang kerap kali menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 untuk pergi ke India. Bahkan pada era yang lebih belakangan, pengembara Arab yang masyhur, Ibnu Bathutah mencatat perjalanannya ke beberapa wilayah Nusantara. Tapi sayangnya, tak dijelaskan dalam catatan Ibnu Bathutah daerah-daerah mana saja yang pernah ia kunjungi.
Kian tahun, kian bertambah duta-duta dari Timur Tengah yang datang ke wilayah Nusantara. Pada masa Dinasti Umayyah, ada sebanyak 17 duta Muslim yang datang ke Cina. Pada Dinasti Abbasiyah dikirim 18 duta ke negeri Cina. Bahkan pada pertengahan abad ke-7 sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim di Kanfu atau Kanton.
Tentu saja, tak hanya ke negeri Cina perjalanan dilakukan. Beberapa catatan menyebutkan duta-duta Muslim juga mengunjungi Zabaj atau Sribuza atau yang lebih kita kenal dengan Kerajaan Sriwijaya. Hal ini sangat bisa diterima karena zaman itu adalah masa-masa keemasan Kerajaan Sriwijaya. Tidak ada satu ekspedisi yang akan menuju ke Cina tanpa melawat terlebih dulu ke Sriwijaya.
Sebuah literatur kuno Arab yang berjudul Aja’ib al Hind yang ditulis oleh Buzurg bin Shahriyar al Ramhurmuzi pada tahun 1000 memberikan gambaran bahwa ada perkampungan-perkampungan Muslim yang terbangun di wilayah Kerajaan Sriwijaya. Hubungan Sriwijaya dengan kekhalifahan Islam di Timur Tengah terus berlanjut hingga di masa khalifah Umar bin Abdul Azis. Ibn Abd Al Rabbih dalam karyanya Al Iqd al Farid yang dikutip oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII menyebutkan ada proses korespondensi yang berlangsung antara raja Sriwijaya kala itu Sri Indravarman dengan khalifah yang terkenal adil tersebut.
“Dari Raja di Raja [Malik al Amlak] yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga cucu seribu raja; yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya,” demikian antara lain bunyi surat Raja Sriwijaya Sri Indravarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Azis. Diperkirakan hubungan diplomatik antara kedua pemimpin wilayah ini berlangsung pada tahun 100 hijriah atau 718 masehi.
Tak dapat diketahui apakah selanjutnya Sri Indravarman memeluk Islam atau tidak. Tapi hubungan antara Sriwijaya Dan pemerintahan Islam di Arab menjadi penanda babak baru Islam di Indonesia. Jika awalnya Islam masuk memainkan peranan hubungan ekonomi dan dagang, maka kini telah berkembang menjadi hubungan politik keagamaan. Dan pada kurun waktu ini pula Islam mengawali kiprahnya memasuki kehidupan raja-raja dan kekuasaan di wilayah-wilayah Nusantara.
Pada awal abad ke-12, Sriwijaya mengalami masalah serius yang berakibat pada kemunduran kerajaan. Kemunduran Sriwijaya ini pula yang berpengaruh pada perkembangan Islam di Nusantara. Kemerosotan ekonomi ini pula yang membuat Sriwijaya menaikkan upeti kepada kapal-kapal asing yang memasuki wilayahnya. Dan hal ini mengubah arus perdagangan yang telah berperan dalam penyebaran Islam.
Selain Sabaj atau Sribuza atau juga Sriwijaya disebut-sebut telah dijamah oleh dakwah Islam, daerah-daerah lain di Pulau Sumatera seperti Aceh dan Minangkabau menjadi lahan dakwah. Bahkan di Minangkabau ada tambo yang mengisahkan tentang alam Minangkabau yang tercipta dari Nur Muhammad. Ini adalah salah satu jejak Islam yang berakar sejak mula masuk ke Nusantara.
Di saat-saat itulah, Islam telah memainkan peran penting di ujung Pulau Sumatera. Kerajaan Samudera Pasai menjadi kerajaan Islam pertama yang dikenal dalam sejarah. Namun ada pendapat lain dari Prof. Ali Hasjmy dalam makalahnya pada Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh yang digelar pada tahun 1978. Menurut Ali Hasjmy, kerajaan Islam pertama adalah Kerajaan Perlak.
Masih banyak perdebatan memang, tentang hal ini. Tapi apapun, pada periode inilah Islam telah memegang peranan yang signifikan dalam sebuah kekuasaan. Pada periode ini pula hubungan antara Aceh dan kilafah Islam di Arab kian erat.
Selain pada pedagang, sebetulnya Islam juga didakwahkan oleh para ulama yang memang berniat datang dan mengajarkan ajaran tauhid. Tidak saja para ulama dan pedagang yang datang ke Indonesia, tapi orang-orang Indonesia sendiri banyak pula yang hendak mendalami Islam dan datang langsung ke sumbernya, di Makkah atau Madinah. Kapal-kapal dan ekspedisi dari Aceh, terus berlayar menuju Timur Tengah pada awal abad ke-16. Bahkan pada tahun 974 hijriah atau 1566 masehi dilaporkan, ada lima kapal dari Kerajaan Asyi (Aceh) yang berlabuh di bandar pelabuhan Jeddah.
Ukhuwah yang erat antara Aceh dan kekhalifahan Islam itu pula yang membuat Aceh mendapat sebutan Serambi Makkah. Puncak hubungan baik antara Aceh dan pemerintahan Islam terjadi pada masa Khalifah Utsmaniyah. Tidak saja dalam hubungan dagang dan keagamaan, tapi juga hubungan politik dan militer telah dibangun pada masa ini. Hubungan ini pula yang membuat angkatan perang Utsmani membantu mengusir Portugis dari pantai Pasai yang dikuasai sejak tahun 1521. Bahkan, pada tahun-tahun sebelumnya Portugis juga sempat digemparkan dengan kabar pemerintahan Utsmani yang akan mengirim angkatan perangnya untuk membebaskan Kerajaan Islam Malaka dari cengkeraman penjajah. Pemerintahan Utsmani juga pernah membantu mengusir Parangi (Portugis) dari perairan yang akan dilalui Muslim Aceh yang hendak menunaikan ibadah haji di tanah suci.
Selain di Pulau Sumatera, dakwah Islam juga dilakukan dalam waktu yang bersamaan di Pulau Jawa. Prof. Hamka dalam Sejarah Umat Islam mengungkapkan, pada tahun 674 sampai 675 masehi duta dari orang-orang Ta Shih (Arab) untuk Cina yang tak lain adalah sahabat Rasulullah sendiri Muawiyah bin Abu Sofyan, diam-diam meneruskan perjalanan hingga ke Pulau Jawa. Muawiyah yang juga pendiri Daulat Umayyah ini menyamar sebagai pedagang dan menyelidiki kondisi tanah Jawa kala itu. Ekspedisi ini mendatangi Kerajaan Kalingga dan melakukan pengamatan. Maka, bisa dibilang Islam merambah tanah Jawa pada abad awal perhitungan hijriah.
Jika demikian, maka tak heran pula jika tanah Jawa menjadi kekuatan Islam yang cukup besar dengan Kerajaan Giri, Demak, Pajang, Mataram, bahkan hingga Banten dan Cirebon. Proses dakwah yang panjang, yang salah satunya dilakukan oleh Wali Songo atau Sembilan Wali adalah rangkaian kerja sejak kegiatan observasi yang pernah dilakukan oleh sahabat Muawiyah bin Abu Sofyan.
Peranan Wali Songo dalam perjalanan Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa sangatlah tidak bisa dipisahkan. Jika boleh disebut, merekalah yang menyiapkan pondasi-pondasi yang kuat dimana akan dibangun pemerintahan Islam yang berbentuk kerajaan. Kerajaan Islam di tanah Jawa yang paling terkenal memang adalah Kerajaan Demak. Namun, keberadaan Giri tak bisa dilepaskan dari sejarah kekuasaan Islam tanah Jawa.
Sebelum Demak berdiri, Raden Paku yang berjuluk Sunan Giri atau yang nama aslinya Maulana Ainul Yaqin, telah membangun wilayah tersendiri di daerah Giri, Gresik, Jawa Timur. Wilayah ini dibangun menjadi sebuah kerajaan agama dan juga pusat pengkaderan dakwah. Dari wilayah Giri ini pula dihasilkan pendakwah-pendakwah yang kelah dikirim ke Nusatenggara dan wilayah Timur Indonesia lainnya.
Giri berkembang dan menjadi pusat keagamaan di wilayah Jawa Timur. Bahkan, Buya Hamka menyebutkan, saking besarnya pengaruh kekuatan agama yang dihasilkan Giri, Majapahit yang kala itu menguasai Jawa tak punya kuasa untuk menghapus kekuatan Giri. Dalam perjalanannya, setelah melemahnya Majapahit, berdirilah Kerajaan Demak. Lalu bersambung dengan Pajang, kemudian jatuh ke Mataram.
Meski kerajaan dan kekuatan baru Islam tumbuh, Giri tetap memainkan peranannya tersendiri. Sampai ketika Mataram dianggap sudah tak lagi menjalankan ajaran-ajaran Islam pada pemerintahan Sultan Agung, Giri pun mengambil sikap dan keputusan. Giri mendukung kekuatan Bupati Surabaya untuk melakukan pemberontakan pada Mataram.
Meski akhirnya kekuatan Islam melemah saat kedatangan dan mengguritanya kekuasaan penjajah Belanda, kerajaan dan tokoh-tokoh Islam tanah Jawa memberikan sumbangsih yang besar pada perjuangan. Ajaran Islam yang salah satunya mengupas makna dan semangat jihad telah menorehkan tinta emas dalam perjuangan Indonesia melawan penjajah. Tak hanya di Jawa dan Sumatera, tapi di seluruh wilayah Nusantara.
Muslim Indonesia mengantongi sejarah yang panjang dan besar. Sejarah itu pula yang mengantar kita saat ini menjadi sebuah negeri Muslim terbesar di dunia. Sebuah sejarah gemilang yang pernah diukir para pendahulu, tak selayaknya tenggelam begitu saja. Kembalikan izzah Muslim Indonesia sebagai Muslim pejuang. Tegakkan kembali kebanggaan Muslim Indonesia sebagai Muslim bijak, dalam dan sabar.
Kita adalah rangkaian mata rantai dari generasi-generasi tangguh dan tahan uji. Maka sekali lagi, tekanan dari luar, pengkhianatan dari dalam, dan kesepian dalam berjuang tak seharusnya membuat kita lemah. Karena kita adalah orang-orang dengan sejarah besar. Karena kita mempunyai tugas mengembalikan sejarah.
Titipan pra-Sriwijaya
Sumber :http://www.duniaesai.com/arkeo/arkeo8.htm
Legimin dan Titipan Pra-Sriwijaya
Tas hitam yang dibawa dari kampung dibukanya dengan sigap. Isinya bukan berkas-berkas penting, apalagi tumpukan uang. Tak disangka lelaki berwajah keras itu mengeluarkan kepingan-kepingan tembikar, bandul jaring dari tanah liat, tempurung kelapa, potongan kayu dan tulang hewan, pecahan bata, batu asah, sejumput manik-manik, dan seikat ijuk dari dalam tas.
"Ini contoh-contoh temuan yang ditemukan di belakang rumah saya waktu membuat parit," ujar Legimin (43), seorang transmigran asal Malang (Jawa Timur) yang kini jadi warga Desa Karangagung Tengah, Kecamatan Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Menempuh jarak waktu empat jam dengan perahu motor dari kampungnya ke Kota Palembang hanya untuk memperlihatkan benda-benda usang dan tidak utuh lagi memang tidak lazim. Namun, kirimannya itu menjadi kado istimewa buat purbakalawan di Balai Arkeologi Palembang yang menekuni bukti-bukti peradaban sebelum munculnya Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi.
Artefak-artefak yang dibawa Legimin berasal dari situs Karangagung Tengah yang terletak di kampungnya. Situs itu kemudian menjadi terkenal di dunia arkeologi ketika beberapa tahun yang lalu analisis laboratorium terhadap dua potong kayu bekas tiang rumah panggung zaman kuno menghasilkan pertanggalan 1624-1629 BP, kira-kira sama dengan tahun 326-329 Masehi.
Penelitian arkeologis secara intensif sejak tahun 2000 sampai sekarang semakin memperkuat teori bahwa pada abad ke-4 Masehi telah ada komunitas di daerah pantai Sumatera Selatan yang aktif dalam perdagangan internasional. Komunitas yang cukup padat dan telah mengenal spesialisasi pekerjaan dan stratifikasi sosial.
Letak situs dekat Selat Bangka, selat yang dikenal sebagai ajang perdagangan internasional pada awal Masehi. Komoditas impor yang ditemukan di situs, antara lain, adalah manik-manik dari India dan Asia Barat.
Situs Karangagung diidentifikasi sebagai situs masa proto sejarah, kemudian arkeolog memberi istilah situs pra-Sriwijaya. "Disebut situs pra-Sriwijaya karena masanya sebelum berdirinya Kerajaan Sriwijaya di Palembang, dan juga pertimbangan faktor lokasi yang tidak jauh dari persebaran situs-situs Sriwijaya di Sumatera Selatan dan Jambi," ujar Tri Marhaeni, ketua tim penelitian.
Tak pelak, ditemukannya situs Karangagung sekitar tahun 2000 telah mengubah teori perubahan garis pantai timur Sumatera dalam kaitannya dengan lokasi pusat Kerajaan Sriwijaya. Teori itu yang menyatakan lokasi Sriwijaya di Palembang maupun di Jambi terletak pada tanjung di tepi laut sekitar abad ke-7 Masehi. Tampaknya teori itu perlu dipertimbangkan lagi setelah ditemukannya permukiman Karangagung dari masa yang lebih tua daripada Sriwijaya (Soeroso, 2002).
Museum situs
Setelah lebih dari seribu tahun terkubur dalam kesunyian, situs Karangagung mulai diusik manusia. Pada tahun 1987 hingga 1990, daerah Karangagung mulai dibuka sebagai lahan transmigrasi menyusul dibukanya lahan transmigrasi di Air Sugihan beberapa tahun sebelumnya. Maka dimulailah eksploitasi kekayaan arkeologi situs Karangagung.
Legimin mengisahkan, tahun 1997-1998 terjadi booming manik-manik dan benda-benda berlapis emas dari situs Karangagung. Saat itu penduduk berburu manik-manik dari bahan kaca berlapis emas, bahan batu, kaca, dan perunggu. Semua benda relik itu menjadi komoditas yang laku keras.
Jual-beli manik-manik dilakukan menurut panjang manik-manik yang dirangkai. Harga manik-manik emas Rp 40.000 per cm, manik-manik perunggu Rp 5.000 per cm, manik-manik batu Rp 500 per cm, sedangkan dari bahan lainnya Rp 1.000 per cm. Umumnya para penadah manik-manik berasal dari luar Karangagung. Legimin teringat ada seorang penadah berhasil mengumpulkan manik-manik sampai satu karung beras seberat 20 kilogram. Manik-manik itu kemudian dibawa ke Jawa dan akhirnya ke Bali.
Bisnis artefak mulai surut ketika instansi purbakala di Palembang dan Jambi melakukan penyuluhan kepada penduduk, selain artefak semakin berkurang diambili penduduk. Legimin aktif membantu para purbakalawan. Bukan itu saja, ia rajin mengumpulkan artefak-artefak yang tidak laku dijual, seperti pecahan-pecahan tembikar, bata kuno, dan potongan kayu, lalu ditata di halaman rumahnya.
"Saya telah membuat museum situs di halaman rumah," ujar Legimin. Istilah "museum situs" diperolehnya dari arkeolog yang kerap melakukan penelitian dan tinggal di rumahnya. Baginya, mengumpulkan dan memajang artefak di depan rumah agar dilihat tamu tentang bukti-bukti peradaban abad ke-4 Masehi itu adalah museum situs.
Mengapa Legimin membawa artefak-artefak "rongsokan" ke Palembang?
"Saya ingat pesan teman-teman dari arkeologi, terutama Pak Roso, kalau menemukan lokasi temuan yang paling padat dan beraneka ragam, supaya melaporkan. Parit yang saya gali padat dan lengkap temuannya, Pak," kata Legimin menjelaskan maksud kedatangannya di Palembang, sambil melaporkan ada warga yang menyimpan tujuh patung perunggu berukuran kecil. Pak Roso yang dimaksud adalah Soeroso MP, salah satu peneliti yang pertama mengungkap identitas situs Karangagung Tengah, dan kini selaku Direktur Peninggalan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Legimin, yang pernah menempuh karier sebagai petinju di Malang, pertama kali ikut transmigrasi ke Air Sugihan pada tahun 1980 dan mulai menetap di Karangagung pada akhir tahun 1989. Air Sugihan, yang letaknya di sebelah timur Karangagung (masuk Kabupaten Banyuasin), dikenal juga kaya dengan artefak pra-Sriwijaya. Daerah ini yang terlebih dahulu dieksploitasi kekayaan arkeologinya, terutama manik-manik dan keramik. Dari Air Sugihan kemudian para pemburu harta karun mengalihkan perhatian ke Karangagung.
Legimin hidup tenang di Karangagung bersama keluarga. Usahanya sebagai petani dan tukang tambal gigi mampu menghidupi seorang istri dan lima anaknya, bahkan putrinya yang sulung dapat kuliah di Malang. Sebagai tukang tambal gigi, Legimin keliling kampung dengan sepeda mencari pasien sambil mengumpulkan artefak-artefak "rongsokan" untuk koleksi museum situsnya.
Museum terbuka Legimin kini telah diberi atap rumbia agar benda-benda koleksi tidak kepanasan dan kehujanan. Dia mengakui, museum itu diwujudkan karena kekagumannya pada umur artefak-artefak Karangagung yang lebih tua daripada Kerajaan Sriwijaya, setelah ia mendengar informasi dari para purbakalawan yang sering berdiskusi di rumahnya yang sederhana.
Legimin memang bukan Maclaine Pont yang rajin mengumpulkan benda-benda peninggalan Majapahit di Trowulan, Jawa Timur, pada tahun 1924-1926. Arsitek bangsa Belanda yang merekonstruksi ibu kota Majapahit itu membangun gedung yang kokoh dan megah untuk menyelamatkan artefak Majapahit, sementara Legimin membangun museumnya dengan bahan apa adanya.
Situs Klasik di SUMSEL
sumber :http://www.balarpalembang.go.id/Sida82_Sondang.htm
Masa Klasik di Sumatera Selatan berlangsung dalam periode yang cukup panjang. Banyak tinggalan arkeologi yang tersebar baik di pusat kota maupun di daerah pedalaman mengindikasikan agama Hindu dan Buddha berkembang dalam waktu yang lama dan sebagian besar situs-situs arkeologi terletak di daerah aliran Sungai Musi.
Pada mulanya yang mendapat pengaruh Hindu adalah Pulau Bangka, yaitu di situs Kota Kapur. Di situs ini ditemukan reruntuhan bangunan candi, memiliki pagar keliling, berdenah bujur sangkar dengan arah hadap bangunan utara. Selain itu ditemukan sejumlah keramik dan tiga fragmen arca Wisnu. Agama Hindu juga berkembang di ibukota Sriwijaya (Palembang) hal ini dibuktikan dengan adanya temuan arca batu Ganesha dan arca logam Siwa Mahadewa. Selanjutnya agama Hindu berkembang pesat di daerah pedalaman, yaitu di situs Bumiayu, Kabupaten Muaraenim. Situs Bumiayu merupakan bukti kejayaan agama Hindu, dari 12 gundukan tanah di lokasi ini, 3 gundukan telah dibuka dan berisi reruntuhan bangunan suci Hindu.
Agama Hindu juga berkembang yaitu di daerah Musirawas. D tepi Sungai Rawas ditemukan situs Hindu yaitu situs Lesung Batu, tinggalannya berupa reruntuhan bangunan candi yang berdenah bujur sangkar.Berdasarkan hiasan yoni berbentuk makhluk primitif diduga mendapat pengaruh gaya seni Majapahit, oleh karena itu kronologi situs Lesung Batu diduga dari abad 14-15 Masehi. Gaya seni Majapahit juga ditemukan pada arca logam Trimurti yang ditemukan di bekas ibukota Kerajaan Sriwijaya yaitu Palembang. Berdasarkan tinggalan-tinggalan arkeologi yang tersebar baik di pusat maupun di daerah pedalaman diperkirakan agama Hindu berkembang di Sumatera Selatan dari abad 6-15 Masehi.
Berdasarkan data diketahui bahwa konsentrasi temuan terbanyak di pusat ibukota Sriwijaya yaitu Palembang, dibandingkan di daerah pedalaman. Di dekat Sungai Komering ditemukan tiga arca logam, yaitu arca Buddha, Maitreya dan Awalokiteswara. Arca-arca ini mirip dengan arca perunggu Jawa dari masa Sailendra.Agama Buddha juga berkembang di daerah pedalaman yaitu Ogan Komering Ulu dan Musirawas. Di tepi Sungai Komering, ditemukan situs Jepara, tinggalannya berupa reruntuhan candi Buddha, yang memiliki pelipit genta dan belah rotan. Sedangkan di daerah Musirawas dijumpai situs Tingkip dan Binginjungut. Bangunan candi Tingkip memiliki kesamaan dengan ciri-ciri candi Jawa Tengah seperti tangga pintu masuk di bagian timur dan adanya kombinasi profil sisi genta dan belah rotan pada fondasi yang merupakan gaya seni bangunan candi Jawa Tengah. Kronologi situs diduga berasal dari abad 8 – 14 M (Marhaeni 1998).Di Binginjungut ditemukan reruntuhan bangunan candi, yang memiliki profil sisi genta, dan belah rotan, selain itu juga ditemukan arca Buddha yang belum selesai dibuat dan arca Awalokiteswara, yang bergaya seni Jawa Tengah abad 9-10 M, temuan fragmen keramik Sung abad 11-13 M dan manik-manik yang diduga berasal dari abad 9-13 M.Berdasarkan tinggalan-tinggalan agama Buddha yang tersebar baik di bekas ibukota Kerajaan Sriwijaya maupun di daerah pedalaman diduga agama Buddha berkembang pada masa Kerajaan Sriwijaya dari abad 7-13 Masehi. Aliran yang berkembang pada masa itu adalah aliran Mahayana.
Pada masa Sriwijaya penganut agama Hindu dan Buddha dapat hidup berdampingan diduga telah terjalin toleransi, penguasa tidak mematikan perkembangan agama Hindu di wilayah kekuasaannya. Agama Hindu lebih berkembang bahkan mengalami kejayaan di daerah pedalaman. Agama Hindu tetap berkembang setelah Sriwijaya runtuh. Gaya seni bangunan beserta arca-arca dewanya mendapat pengaruh gaya seni Majapahit. Berdasarkan data sejarah diketahui bahwa Kerajaan Majapahit pernah menyerang dan menguasai Sriwijaya, diperkirakan turut memberi pengaruh dalam perkembangan kesenian di bekas wilayah Kerajaan Sriwijaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar