Pengajian Tauhid Wahdatul Ummah 173
Agama dan Proses Modernisme
KH. AGUS MIFTACH.
agus_miftach@yahoo.co.id
Assalamu’alaikum War.Wab.
Bismillahirrahmanirrahiem,
“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar untuk memberi keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidak berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata karena kedengkian antara mereka sendiri. Maka, Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendakNya. Dan, Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” ; Al-Baqoroh : 213.
Seperti tradisi, kita akan membahas ayat ini dengan pendekatan eklektik-multiperspektif, baik dari perspektif teologi, antropologi, historiograti maupun psikologi dll, secara holistis dan komprhensif agar dapat dicapai pemahaman menyeluruh dan hikmah yang setinggi-tingginya, insya Allah.
Pokok Bahasan
Kalimat,’Kaanannaasu ummatan wahidat(an)’ : ‘Manusia itu adalah ummat yang satu’, menunjuk kepada keadaan masa lalu. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa diantara masa 10 abad dari zaman Adam hingga Nuh, manusia memegang satu syari’at yang Haq, kemudian mereka terjerumus kedalam penyembahan berhala (paganisme), maka Allah mengutus Nuh a.s. yang merupakan rasul Allah yang pertama. Deretan kalimat yang merupakan narasi ayat 213 ini tidak memuat kepastian waktu, namun memuat kepastian keberadaan Nuh a.s. sebagai rasul yang pertama. Benarkah keterangan Ibnu Abbas bahwa jarak antara Adam dan Nuh adalah 10 abad ? Sayangnya Ibnu Abbas tidak menyebutkan tahun berapa ? Penyebutan Nuh sebagai rasul Allah yang pertama, memberikan pengertian bahwa Adam a.s. bukan rasul yang pertama, melainkan khalifah yang pertama. Tetapi yang lebih mendasar data-data antropologi dan arkeologi tidak menunjukkan keberadaan Adam dan Nuh yang kemungkinan hanya ada dalam dunia mitologi agama-agama Semit.
Sementara para arkeolog yang menggali di situs-situs purbakala di Irak selatan pada th 1929 menemukan prasasti dalam bentuk bongkahan batu bertulis yang berisi ephos Gilgames yang berasal dari zaman abad ke 25 SM. Dalam ephos itu dikisahkan bahwa Gilgames adalah raja kota Erekh atau Uruk di Babel Selatan yang berpetualang mencari kekekalan dalam arti agnostic. Ia mengunjungi seorang yang telah mencapai kekekalan bernama Up napishtim merupakanan padanan Nabi Nuh versi paganisme.
Up-Napishtim memberitahu Gilgames bahwa ia telah diperingatkan seorang dewa perihal akan datangnya air bah yang melanda dunia. Dewan para dewa mengambil keputuskan melenyapkan manusia dengan air bah karena keributan mereka dimuka bumi telah mengganggu istirahat para dewa-dewi. Seorang dewa meminta Up-napistim untuk membangun sebuah kapal besar yang akan menyelamatkan diri dan keluarganya serta segala binatang-binatang.
Maka tatkala datang air bah, kapal Up-napistim berlayar ditengah kegelapan yang menyelimuti dunia dan akhirnya kandas di Gunung Nisir yang cerah. Sebelum turun dari kapal Up-napistim melepas seekor merpati dan seekor gagak, untuk meyakinkan air telah surut. Up-napistim kemudian mempersembahkan korban kepada para dewa, dan memperoleh anugerah kekekalan dari mahadewa.
Kiri : Gilgames, kanan : Ephos Atrahasis
Itu bukan satu-satunya mitos ala Nabi Nuh, ada lagi ephos Atrahasis yang serupa dengan dongeng Nabi Nuh. Ini tentu menimbulkan pertanyaan, apakah kisah Nuh benar-benar ada, atau hanya mitos saja, mengingat ada beberapa kisah yang serupa dari peradaban paganisme Mesopotamia. Bahkan ada Daftar Raja Sumer th. 2000 SM yang berisi daftar raja-raja yang memerintah di Babel sebelum dan sesudah ‘air bah’. Bukan mustahil Ezra penulis Pentateuch (Taurat) yang pertama abad ke 5 SM memasukkan mitos Mesopotamia ini kedalam Taurat. ?
Melihat data-data arkeologis ini, rasanya keterangan Ibnu Abbas masih harus dipertimbangkan lagi sebagai bagian dari penafsiran ayat diatas. Keterangan Ibnu Abbas memang tidak menyertakan data-data pendukung seperti tahun, peristiwa, atau lokasi yang jelas, sehingga keterangan Ibnu Abbas justru menjadi mitos baru yang menempel dalam narasi ayat diatas. Artinya riwayat Ibnu Abbas yang dikutip Ibnu Jarir itu tidak menjelaskan makna yang tersembunyi dibalik harfiah ayat diatas. Dari sejak zaman awal sejarah, kita tidak punya bukti-bukti bahwa manusia pernah berada dalam peradaban tunggal, kecuali hanya mitos belaka. Jika kita mempercayai Ibnu Jarir, artinya kita berpendapat bahwa awal sejarah kehidupan adalah sebuah mitos, bukan realitas. Padahal kehidupan adalah realitas yang kokoh.
Fiksi Taurat dan system kepercayaan
Teolog Jerman Julius Wellhausen, pada th. 1870 melakukan penelitian terhadap kelima kitab Taurat (Kejadian-Ulangan), dan menyimpulkan bahwa tulisan-tulisan itu merupakan gabungan dari beberapa sumber tertulis. Menurut Wellhausen naskah pertama Kejadian 12-50 ditulis sekitar th.900 SM, artinya sudah ada sebelum Ezra yang dianggap sebagai penyusun Kitab Taurat terlengkap, yang hidup pada abad ke 5 SM. Penulisan pada th. 900 SM sebagaimana dikemukakan Wellhausen, artinya pada zaman kerajaan-kerajaan Yehuda dan Israel.
Wellhausen dan para ahli berdasarkan hasil penelitian berkeyakinan bahwa kitab Kejadian 12-50 tidak mengandung sejarah, melainkan merupakan karangan sastra teologis. Maka Abraham, Ishak, dan Yakub tidak dianggap sebagai tokoh sejarah, melainkan hanya fiksi belaka. Penelitian Wellhausen pada abad 19, dapat dianggap sebagai pendobrakan terhadap kemapanan dogma-kristiani selama ini oleh ilmu pengetahuan yang bersifat causalistik. Inilah daya scientific yang mengawali proses zaman modern di Eropa yang akan menggusur peran agama sebagai social-mainstream ke domain-privat. Dari pemberontakan system dogmatic dan beralih kepada system causalistik itu, ilmu pengetahuan berkembang cepat dan tumbuh sebagai world-view baru yang menggusur kedudukan agama sebagai world-view dominant.
Setelah itu tidak dapat dibendung eksplorasi ilmu pengetahuan melahirkan ideology-ideologi social-ekonomi yang tumbuh cepat dan menjadi mainstream-sosial baru diseluruh Eropa, Amerika dan menyulut berbagai perubahan revolusioner di Asia dan Afrika. Kini di abad 21 praktis ideology social telah memimpin peradaban dunia. Sementara agama dengan system world-view nya yang tradisional merosot hanya di domain privat. Lahirnya sejumlah aliran sempalan yang mencoba mencari jalan alternative dari kemandegan budaya agama mainstream, tidak begitu prospektif, karena sifat dasarnya yang tetap tradisional dan dogmatis. Aliran sempalan agama tidak memahami bagaimana sistem nilai diterjemahkan kedalam kehidupan sosial dan manifestasinya dalam perubahan sosial. Maka aliran sempalan tetap tinggal terasing dalam gelora perubahan zaman modern. Ia bahkan terasing dari keterasingan agama tradisional.
Dizaman ini agama harus lebih memahami bahwa realitas sosial terdiri dari nilai-nilai atau beliefs yang bersifat ideasional dan kekuatan material yang bersifat non-ideasional yang berpengaruh secara timbal balik. Suatu sistem kepercayaan yang tidak mampu memahami realitas sosial itu dan arah perubahannya, tentu tidak mampu berperan. Dalam kaitan dengan hal ini perlu diperhatikan proses Yudaisme di Barat sebagai suatu world-view yang bebas dari magis dan berbagai bentuk pengejaran keselamatan yang tidak rasional, sehingga menjadi titik awal proses disentchantment (kebangkitan budaya modern) dunia Barat. Ketegangan antara Yahweh yang sempurna dan dunia yang tidak sempurna justru merupakan sumber rasionalisme Barat dan juga sumber perubahan sosial (Max.Weber).
Dinamika rasional seperti itu juga terjadi dalam Islam yang menerangi abad pertengahan lebih seribu tahun (abad ke 8-19). Pendeta Yahudi (rabbi) dianggap sebagai sumber pengetahuan agama atas hukum-hukum, bukan karena kesucian atau kemampuan mistiknya. Hal serupa juga terjadi dikalangan ulama Islam. Ini menjadi unsur rasionalitas yang berbeda dengan agama Kristen yang dogmatis. Ketiadaan magis dalam system kepercayaan Yahudi dan Islam berakibat munculnya rasionalitas yang menciptakan disentchantment of the world (kebangkitan budaya modern) yang memang dibawakan oleh world view Islam di zaman pertengahan dan Yahudi di zaman ini. Adalah kenyataan pula bahwa perubahan sosial dapat terjadi karena adanya ketegangan antara world-view dengan realitas sosial.
Berbeda dengan agama Yahudi dan Islam yang mampu mendorong proses perubahan sosial dan disentchantment, sebaliknya agama Kristen Latin dan Katholik Romawi justru menghambat perkembangan rasional dan perubahan sosial dengan selalu mencari kompromi pencerahan antara yang profane dan yang sacral, sehingga tidak terjadi sublimasi kebudayaan baru yang lebih tinggi. Lebih-lebih Kristen Latin yang mengejar harapan kerajaan sorga di masa mendatang dan keselamatan melalui magis dan ritual. Jadi seperti agama klenik yang anti-intelektual. Ini berakibat lanjut dengan menurunnya hasrat menuju rasionalisasi aktivitas keduniaan karena lebih mengikuti emosi yang bersifat inward looking (melihat kedalam). Di bidang ekonomi kurang berbuat riil, karena selalu berpandangan hari ini untuk hari ini, atau berdoa untuk roti hari ini dan besok berdoa untuk roti besok. Inilah world-view yang fatalistic.
New York City, Amerika Serikat, pusat peradaban dunia modern.
Protestanisme dan modernisasi Barat
Di Barat, etika Protestan telah mendorong munculnya tindakan-tindakan non-religius, seperti eliminasi magis dan kekuatan-kekuatan irrasional, sehingga berakhir dengan disentchantment yang bahkan jauh meninggalkan Protestan itu sendiri sebagai agama. Rasionalitas instrumental yang diterapkan dalam masyarakat dengan teknik means-ends telah menciptakan birokrasi atau administrasi dalam politik, ekonomi dan negara yang berpuncak pada kebudayaan modern.
Kehidupan manusia di zaman modern telah didominasi oleh kebutuhan-kebutuhan material dan terus-menerus mengadaptasi ciptaan mereka dalam rangka menjamin kebutuhan-kebutuhan itu. Sebagai contoh, birokratisasi sebagai sarana untuk mencapai target telah menimbulkan gejala dominasi, sentralisasi, hierarkisme, impersonalisme dan instrumentalisme.
Akibat sosial yang muncul adanya tindakan yang berorientasi pada rasionalitas nilai yang melemah, digantikan oleh tindakan yang berorientasi pada rasionalitas instrumental atau teknis. Ini merupakan fenomena dehumanisasi dimana emosi dianggap sebagai penghambat rasionalitas teknis karena tidak dapat dikalkulasi. Ini merupakan sisi-sisi tragis dari modernisme. Ekonomi menjadi subyek penaksiran untuk mencapai target.
Rasionalitas instrumental dalam hal ini menuntut spsesialisasi yang menimbulkan impersonalisasi. Hubungan-hubungan ekonomi menjadi impersonal karena ideologi masyarakat berubah menjadi means-ends rationality. Secara cultural, kemajuan teknis mampu melakukan manipulasi dan dominasi dalam bidang-bidang politik, sosial dan pendidikan melalui propaganda. Betapapun tuntutan obyektivitas dalam kinerja ilmu pengetahuan modern berdampak impersonalitas yang tidak dapat diatasi dengan proses politik. Terdapat keyakinan modern bahwa persoalan sehari-hari dapat diatasi melalui means-ends calculation atau keputusan teknis yang efisien. Inilah yang menjadi penyebab utama mundurnya pengaruh agama di privat sphere.
Dimasa depan agama, khususnya Islam harus mampu memecahkan impersonalisme modernitas dengan etik-ideal yang rasional sehingga komplementar dengan rasionalitas nilai modernisme. Itulah peluang agama, walaupun sempit tetapi memungkinkan tercapainya sublimasi baru yang lebih tinggi nilainya dari rasionalitas means-ends calculation, yaitu means-ends calculation and ethic-ideal. Insya Allah. Terima kasih, sekian.
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 4 April 2008.
Pengasuh,
http://persatuan.web.id/?p=297
KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Naisional/
Pimpinan Jamaah Wahdatul Ummah.
By: InA iRmAwAtI


Tidak ada komentar:
Posting Komentar