Selasa, 17 Februari 2009

perkembangan islam

PASANG SURUT HUBUNGAN CINA-ISLAM


Sumber-sumber sejarah Cina (Groeneveld, 1960;14), menye­but­kan bahwa orang-orang Cina Islam datang ke Indonesia sejak abad ke 7 M yakni ketika terjadi pemberontakan Cina di daerah selatan yakni ketika para petani Cina Islam terpaksa harus melakukan pelarian atau hengkang dari negerinya dan mereka lari ke Indonesia dan diterima baik oleh raja. Kedatangan mereka disebutkan dalam berita tentang Sriwijaya.

Kawasan Asia Tenggara sejak awal Masehi telah berfungsi sebagai jalur lintas perdagangan bagi kawasan sekitarnya, Asia Timur dan Asia Selatan. Dari kawasan Asia Selatan, hubungan pelayaran antar benua terus berlanjut ke Barat sebelum akhirnya mencapai Eropa. Melalui jalur perdagangan bagi kawasan sekitar­nya, Asia Timur dan Asia Tenggara pada abad-abad berikutnya, ketika perdangan memasuki era globalisasi di abad ke-5, men­jadi lebih ramai dengan hadirnya beerbagai pedagang dan pelaut yang bisa berlayar melalui wilayah tersebut. sebagai dampak dari hubungan antar bangsa ini, berbagai Bandar di Asia Tenggara seperti bandar-bandar di Burma, Thailand, Se­menan­­jung Malaysia, dan Nusantara berubah fungsi menjadi bandar regional. Beberapa contoh dapat disebutkan disini, yakni Lamuri di Aceh Timur, Kedah di Malaysia, Martafan dan Pegu di Myanmar, Ayuthia di Thailand dan Pandurangga di Vietnam dan sebagainya.

Dampak lain dari komunikasi internasional ini adalah masuknya pengaruh tradisi besar kekawasan Asia Tenggara, mulai Hindu-Budha pada abad ke 1-5 M, kemudian Islam pada abad ke 7-13 M, sejak abad ke-17 adalah Eropa sejalan dengan kolonialisme di Indonesia dan Asia Tenggara umumnya. Masuk­nya tradisi Hindu-Budha, dilihat dari aspek kebudayaan, telah membawa dampak yang sangat besar. Hindu-Budha menjadi agama yang dianut oleh masyarakat setempat, yang disusul kehadiran bangunan-bangunan keagamaan untuk masyarakat penganut agama tersebut. Bangunan keagamaan ini, dilihat dari rekayasa arsitektur, tentu saja menampilkan cakrawala baru bagi budaya lokal setelah menerima pengaruh Hindu-Budha. (Hourani, 1951: 61-62)

Beberapa daerah dikawasan ini kemudian menjadi basis perkembangan agama Hindu-Budha, bahkan hingga sekarang ini, seperti Burma, Thailand, Khamboja, Laos, Semenanjung Melayu, an Indonesia, khususnya Jawa dan Bali.

Seperti abad pertama ke-1 H/7 M, meskipun dalam frekuensi yang tidak terlalu besar, kawasan Asia Tenggara mulai berkena­lan dengan tradisi Islam. Hal ini terjadi ketika para pedagang muslim yang berlayar ke kawasan ini singgah untuk beberapa waktu. Pengenalan Islam lebih intensif, khususnya di Semenan­jung Melayu dan Nusantara, berlangsung beberapa abad kemudian. Bukti peninggalan arkeolgi Islam di Asia Tenggara adalah dua makam muslim yang berangka tahun sekitar akhir abad ke-5/11M di dua tempat yang sebenarnya agak berjauhan, di Padurangga ( sekarang Panrang di Vietnam) dan di Leran (Gersik, Jawa Timur).

Dua makam tersebut selama ini dikenal makam berangka tahun tertua di Asia Tenggara. Dilihat dari bahan yang dibuat, tampak makam ini bukan buatan lokal. Bahan dan tulisannya yang bergaya kufi memberi kesan bahwa kedua batu nisan tesebut di buat di Gujarat, India. Di Indonesia kehadiran Islam secara lebih nyata terjadi sekitar akhir abad 13 M, yakni dengan adanya sultan Malik al-Saleh. Pada makam itu tertulis bahwa dia wafat pada Ramadhan 6

Perkembangan Agama dan Budaya Islam

Situasi Politik, Sosial dan Budaya pada Masa Kedatangan Islam

Kedatangan Islam di berbagai daerah di Indonesia tidaklah bersamaan. Demikian pula kerajaan-kerajaan dan daerah-daerah yang didatanginya mempunyai situasi politk dan sosial budaya yang berlainan. Pada waktu kerajaan Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya pada sekitar abad ke-7 dan 8, selat Malaka sudah mulai dilalui oleh pedagang-pedagang Muslim dalam pelayarannya ke negeri-negeri Asia Tenggara dan Asia Timur.

Berdasarkan berita Cina zaman T’-ang, pada abad-abad tersebut diduga masyarakat Muslim telah ada, baik di Kanfu (Kanton) maupun di daerah Sumatera sendiri. Perkem­bangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat internasional antara negeri-negeri di Asia bagian Barat dan Timur mungkin disebabkan oleh kegiatan kerajaan Islam dibawah Bani Umayyah di bagian Barat maupun kerajaan Cina zaman dinasti T’-ang di Asia Timur serta kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara.

Usaha-usaha kerajaan Sriwijaya dalam meluaskan kekua­saannya ke daerah Semenanjung Malaka sampai Kedah dapat dihubungkan dengan bukti-bukti prasasti Ligor 775 dan berita-berita Cina dan Arab ke-8 sampai abad ke-10. Hal itu erat hubungan dengan usaha penguasaan Selat Malaka yang merupakan kunci bagi pelayaran dan perdagangan internasional itu. Kedatangan orang-orang Islam di Asia Tenggara dan Asia Timur pada taraf permulaannya mungkin belum terasa akibat-akibatnya bagi kerajaan-kerajaan di negeri-negeri tersebut. Karena usaha-usaha mereka itu baru pada taraf menjelajahi masalah-masalah dibidang pelayaran dan perdagangan.

Tetapi pada abad ke-9 dengan terjadinya pemberontakan petani-petani Cina Selatan terhadap kekuasaan T’ang masa pemerintahan Kaisar Hi-Tsung (878-889) dimana orang-orang Muslim turut serta, dan akibatnya banyak orang-orang Muslim yang dibunuh, mereka mencari perlindungan ke Kedah, maka bagi orang-rang Muslim berarti telah melakukan kegiatan-kegiatan politik pula. Kegiatan mereka itu jelas mempunyai akibat bagi kekuasaan T’ang dan Sriwijaya.

Sriwijaya yang kekuasaannya ketika itu meliputi daerah Kedah, melindungi orang-orang muslim tersebut. Syed Naguib al-Attas mengatakan bahwa orang-orang Muslim yang diperkirakan sejak abad 7, telah memiliki perkampungan di Kanton menunjukkan kegembiraannya menyaksikan derajat keagamaan yang tinggi dan otonomi pemerintahan, dimana mereka akan memelihara kelangsungan perkampungan serta organisasi masyarakatnya di Kedah dan di Palembang.

Apabila kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 sampai abad ke-12 di bidang ekonomi dan politik masih menunjukkan kemajuannya, maka sejak akhir abad ke-12 mulai menunjukkan kemunduran yang prosesnya terbukti pada abad ke-13. Tanda-tanda kemunduran Sriwijaya di bidang perdagangan mungkin dapat kita hubungkan dengan berita Chou Ku-Fei tahun 1178, dalam Ling Wai Tai Ta yang menceritakan bahwa persediaan barang-barang perdagangan di Sriwijaya mahal-mahal, karena negeri itu tidak lagi menghasilkan banyak hasil alam. Dikatakan bahwa Cho-po (Jawa) lebih kaya dari pada Sriwijaya dan yang kedua ialah Ta-shih.

Untuk mencegah kemunduran kerajaan Sriwijaya di bidang perdagangan yang mungkin ada pengaruhnya di bidang politik, maka kerajaan tersebut antara lain membuat peraturan cukai yang lebih berat bagi kapal-kapal dagang yang singgah di pelabuhan-pelabuhan. Apabila pedagang-pedagang asing itu berusaha menyingkiri pelabuhannya, maka di pelabuhan-pelabuhan lainnya mereka dipaksa berlabuh oleh penguasa-penguasa setempat.

Dengan demikian maka pedagang-pedagang asing yang tujuan pelayarannya ke Cina, mengalami rintangan-rintangan, karena persediaan keperluan-keperluan untuk pelayaran dan perdagangan yang lebih jauh sudah diambil ke pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai kerajaan Sriwijaya. Usaha-usaha yang dilakukan Sriwijaya seperti tersbut diatas bukan mendatangkan hasil pendapatan yang lebih menguntungkan tetapi lebih merugikan, karena kapal-kapal dagang itu seringkali menghindari pelabuhan-pelabuhannya, menembus blokadenya dan menuju tempat-tempat yang mereka ketahui banyak menghasilkan barang-barang dagangan.

Kemunduran di bidang perdagangan serta politik kerajaan Sriwijaya itu dipercepat pula oleh usaha-usaha kerajaan Singasari di Jawa yang mulai mengadakan ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275. Pengiriman arca perwujudan Amoghapala sebagai perlambangan ayah raja Kertanagara sekitar tahun 1286 merupakan pengukuhan kekuasaannya terhadap kerajaan Melayu di Sumatera. Pengaruh politik Kertanagara terhadap kerajaan Melayu itu sebenarnya suatu usaha mengecilkan politik dan perdagangan Sriwijaya yang semula menguasai kunci pelayaran dan perdagangan internasional melalui Selat Malaka. Kecuali dari pada itu pengecilan kekuasaan politik dan perekonomian oleh kerajaan dari Jawa, bagi daerah-daerah terutama bandar-bandar yang dikuasai Sriwijaya merupakan kesempatan untuk menyatakan dirinya lepas dari kekuasaan kerajaan tersebut.

Sejalan dengan kelemahan yang dialami kerajaan Sriwijaya, maka pedagang-pedagang Muslim yang mungkin disertai pula oleh mubaligh-mubalighnya lebih berkesempatan untuk mendapatkan keuntungan dagang juga keuntungan politik dimana mereka menjadi pendukung daerah-daerah yang muncul dan menyatakan dirinya sebagai kerajaan Samudra Pasai di pesisir timur laut Aceh, kabupaten Lhok Seumawe atau Aceh utara kini.

Munculnya daerah tersebut sebagai kerajaan Islam yang pertama-tama di Indonesia diperkirakan mulai abad ke-13. Hal itu mungkin hasil proses Islamisasi di daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang muslim abad-abad ke-7, 8 dan seterusnya, seperti telah dikemukakan di atas. Daerah lainnya yang diperkirakan masyarakatnya sudah banyak yang memeluk agama Islam ialah Perlak seperti yang kita ketahui dari berita Marco Polo yang singgah di daerah itu pada tahun 1292.

Kerajaan Samudra Pasai makin berkembang baik di bidang politik maupun perdagangan dan pelayaran. Hubungan dengan Malaka makin ramai sehingga di tempat itupun sejak abad ke-14 timbul masyarakat Muslim. Perkembangan masyarakat Muslim di Malaka makin lama makin luas dan akhirnya pada awal abad 15 muncul sebagai kerajaan Islam. Perkembangan-perkembangan kerajaan Islam itu jelas berhubungan dengan Sriwijaya yang dipercepat oleh pengaruh kekuasaan kerajaan Majapahit sejak pertengahan abad ke-14.

Kemunduran dan keruntuhan kekuasaan Sriwijaya itu kecuali akibat ekspansi politik Singasari dan Majapahit juga karena ekspansi Cina pada masa Kubilai Khan abad ke-13 dan masa pemerintaan Dinasti Ming abad-14, 15 ke daerah Asia Tenggara. Pengaruh politik kerajaan Majapahit ke Samudra Pasai dan Malaka setelah keruntuhan Sriwijaya itu mulai kurang terutama setelah di pusat Majapahit sendiri timbul kekacauan-kekacauan politik akibat perebutan-perebutan kekuasaan di kalangan raja-raja. Dengan demikian kerajaan-kerajaan yang jauh dari pengawasan pusat kerajaan Majapahit seperti Samudra Pasai dan Malaka berhasil mencapai puncak kekuasaan hingga abad ke-16.

Berdasarkan berita Tome Pires (1512-1515) dalam suma orientalnya dapat kita ketahui bahwa daerah-daerah di bagian pesisir Sumatera Utara dan timur Selat Malaka yaitu dari Aceh sampai Palembang sudah banyak terdapat masyarakat dan kerajaan-kerajaan Islam. Tetapi kerajaan-kerajaan yang belum Islam banyak pula. Yaitu daerah Palembang menuju ke Gamis begitupun di daerah-daerah pedalaman. Proses Islamisasi ke daerah-daerah pedalaman di Aceh, Sumatera Barat, terutama terjadi sejak Aceh melakukan ekspansi politiknya pada abad-abad 16-17.

Demikian situasi politik kerajaan-kerajaan di daerah Sumatera ketika kedatangan Islam ke daerah-daerah itu. Adapun kedatangan pertama-tama Islam ke jawa tidak pula kita ketahui dengan pasti. Batu nisan kubur Fatimah binti Maimun di Leran (Gresik) yang berangka tahun 475 H. (1082 M), mungkin merupakan bukti yang konkrit kedatangan Islam di Jawa. Tetapi meskipun demikian hal itu belum berarti adanya proses Islamisasi yang meluas di daerah Jawa Timur.

Sejak akhir abad ke-11 sampai abad ke-13 baik bukti-bukti peninggalan kepurbakalaan maupun berita-berita asing tentang kedatangan Islam ke Jawa Timur itu sangat sedikit. Tetapi sejak akhir abad ke-13 hingga abad-abad berikutnya, terutama ketika Majapahit mencapai puncak kebesarannya, bukti-bukti proses Islamisasi dapat kita ketahui lebih banyak. Hal itu didasarkan penemuan beberapa nisan kubur di Troloyo, Trowulan dan Gresik. Kecuali itu berita Ma Huan tahun 1416 yang menceriterakan orang-orang muslim yang tinggal di Gresik, membuktikan bahwa baik di pusat Majapahit maupun di pesisir, terutama di kota-kota pelabuhan, telah terjadi proses Islamisasi dan terbentuknya masyarakat Muslim.

Pertumbuhan masyarakat Muslim di sekitar Majapahit dan terutama di beberapa kota di pelabuhannya erat pula hubungannya dengan perkembangan pelayaran dan perdagangan yang di lakukan orang-orang Muslim yang telah mempunyai kekuasan ekonomi dan politik di Samudra Pasai dan Malaka. Pada taraf permulaan masuknya Islam di pesiir Utara Jawa terutama di daerah kekuasaan Majapahit, mungkin belum dapat di rasakan akibatnya di bidang politik oleh kerajaan Indonesia–Hindu itu. Kedua belah pihak waktu itu mungkin mementingkan usaha untuk memperoleh keuntungan dagang. Proses Islamisasi hingga mencapai bentuk kekuasaan politik seperti munculnya Demak, dipercepat oleh karena juga kelemahan-kelemahan yang dialami pusat kerajaan Majapahit sendiri akibat pemberotakan serta perang perebutan kekuasaan dikalangan keluarga raja-raja.

SuMbEr:

http://blog.360.yahoo.com/blog-rKQe78sjdloZ7fjoAZ0188DUBA--?cq=1&p=11


Tidak ada komentar:

Posting Komentar